Korban Kekerasan Seksual Tidak Dijamin BPJS Kesehatan
INILAHMEDAN - Sibolangit: Guna meningkatkan mutu pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), pemerintah melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus melakukan inovasi. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun dalam Perpres terbaru itu, ada beberapa perubahan manfaat yang tidak lagi dijamin dalam program JKN-KIS. Antara lain pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang.
Perubahan tersebut guna menjamin kesinambungan program JKN secara maksimal, khususnya untuk mendukung upaya pengendalian defisit dana jaminan sosial kesehatan.
“Secara umum manfaat yang dijamin dalam program JKN tidak mengalami perubahan. Namun untuk manfaat yang tidak dijamin ada beberapa hal yang baru, antara lain pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual,
korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujar Eka Fatma Rahmansyah, Staf Monitoring dan Evaluasi Kedeputian BPJS Kesehatan Wilayah Sumut dan Aceh, pada acara Media Workshop di Sibolangit, Jumat (14/12/2018).
Eka menambahkan, sebelum adanya Perpres 82 tersebut, korban penganiayaan dan kekerasan seksual sejatinya juga tidak ditanggung dalam program JKN-KIS. Namun karena tidak dijelaskan secara gamblang, maka pelayanan kesehatan untuk korban tersebut masih dapat diklaim ke BPJS Kesehatan.
Pada kesempatan yang sama,Analis Monitoring dan Evaluasi Jaminan Pembiayaan, Iriana Hendrawati Pasaribu menambahkan, hingga kini pihaknya belum mengetahui lembaga mana nantinya yang akan menanggung pelayanan kesehatan untuk para korban tersebut. Sebab belum ada regulasi turunan yang mengatur lebih rinci Perpres tersebut.
“Kalau ditanya siapa yang menanggung kita masih menunggu regulasi turunan dari Perpres ini. Tapi sudah ditegaskan kalau BPJS Kesehatan tidak lagi menanggungnya. Apakah nanti ada badan khsusus yang menangani, apakah sosial atau dari kepolisian ada anggarannya, kita masih menunggu regulasi terkait itu. Jadi pelayanan kesehatan yang ditanggung dalam program JKN adalah sakit karena penyakit,” tegasnya.
Sementara itu, Deputi Direksi BPJS Kesehatan Wilayah Sumut dan Aceh, Mariamah menjelaskan, bagi korban penganiayaan seperti kasus pembacokan di Banda Aceh yang terjadi baru-baru ini, memang tidak ditanggung dalam program JKN-KIS. Tetapi biaya pengobatan ditanggung oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan melampirkan beberapa persyaratan.
“Pada 2015 ada MoU antara BPJS Kesehatan dan LPSK. Tetapi bukan kita yang membayar dulu. Jadi kita lebih hanya kepada menentukan status kepesertaan saja. Sementara untuk yang menanggung klaim ini, LPSK, tentunya dengan melampirkan kronologi kejadian, laporan kepolisian, dan visum kalau ada.
"Jadi kalau ada kasus penganiayaan seperti ini, ada lembaganya karena pemeritah menempatkan biayanya di situ, bukan di BPJS Kesehatan,” jelasnya.
Selain korban penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang, dalam Perpres 82/2018 juga tidak lagi dijamin pelayanan kesehatan tertentu yang berkaitan dengan Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada kesempatan itu Mariamah juga menyampaikan pentingnya peran media massa dan insan pers guna mengantisipasi adanya misinformasi atau berita-berita keliru yang bergulir di tengah masyarakat.
BPJS Kesehatan juga memerlukan media massa sebagai mitra dalam mempublikasikan program kinerja BPJS Kesehatan dalam mengelola Program JKN-KIS. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang baik oleh seorang jurnalis.
“Sehingga dapat menyalurkan informasi tersebut dengan benar dan berimbang kepada masyarakat, termasuk dalam hal ini terkait perkembangan program JKN-KIS yang dikelola oleh BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014,” bebernya. (imc/fat)